Sebelum
buku ini terbit saya sudah memiliki e-book-nya. Tapi sengaja tidak saya baca
karena kalau saja sudah membaca e-book terlebih dahulu saya pasti malas membaca
buku tersebut. Buku ini
berisi 29 cerpen. Beberapa cerpen pernah saya baca di blog Reza, dan beberapa lagi Reza
membagikan di salah satu grup untuk dikomentari dan beberapa lagi memang belum
pernah dipublikasikan.
Membaca
buku ini seperti diajak merenungkan hidup, jatuh cinta, patah hati, jatuh cinta—lagi,
kecewa, lari dari kenyataan dan kembali lagi ke siklus awal. Dan, memang benar
kehidupan Reza seperti ini, saya teringat saat ia tertidur, hp ditangannya
membuka aplikasi candy saga rush (atau apa, saya tidak begitu paham).
Mengutip
kalimat Eko Triono di kata pengantar. “ia mengobrak-abrik kemapanan tata-tertib
peristiwa; mengencingi relasi kausalitas; merayakan akibat-akibat tanpa awal
mulai. Seperti memasuki sebuah kota pasca wabah demensia, saya sempat tersesat
di daerah deengan orang-orang bawel.
Namun
demikian, ada kesan lain yang tak kalah
penting. Di balik gairah ekspresif, makian, personifikasi, ungkapan-ungkapan
unik, ada ritme yang berulang. Yang kesemuanya bertemu dalam titik dua. Yakni
kekecewaan”.
Banyak sekali cerpen dibuku ini yang diawali
dengan kekecewaan dan diakhiri dengan kekecewaan, seperti Dan Bandung Bagiku,
Marina Menari di Ujung Tahun, Dingin Rinjani Malam itu, Omong Kosong Sadra dan
lain-lain.
Dua
cerpen favorit saya Dua Pemabuk Mengazani Mayat dan Bekicot Pertama yang Memeluk
Agama.
Cerpen
yang panjang ataupun yang pendek sama saja. Sama bagusnya, sama rasa sakitnya. Membaca
cerpen ini seperti membaca pikiran seseorang. Ruwet, muter-muter takn jelas
mana awal dan ujung.
Saya
menikmati membaca buku ini dan selipan-selipan yang tentang Film, lagu, isu
politik serta agama di buku ini.