Rabu, 18 Februari 2015

[Review] Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin - Tere Liye

Judul Buku: Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin
Penulis: Tere-Liye
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: Ketujuh, September 2012
Jumlah halaman: 264 halaman
Rate: 4/5

Blurp: Dia bagai malaikat bagi keluarga kami. Merengkuh aku, adikku, dan Ibu dari kehidupan jalanan yang miskin dan nestapa. Memberikan makan, tempat berteduh, sekolah, dan janji masa depan yang lebih baik.

Dia sungguh bagai malaikat bagi keluarga kami. Memberikan kasih sayang, perhatian, dan teladan tanpa mengharap budi sekalipun. Dan lihatlah, aku membalas itu semua dengan membiarkan mekar perasaan ini.

Ibu benar, tak layak aku mencintai malaikat keluarga kami. Tak pantas. Maafkan aku, Ibu. Perasaan kagum, terpesona, atau entahlah itu muncul tak tertahankan. Bahkan sejak rambutku masih dikepang dua.


Sekarang ketika aku tahu dia boleh jadi tak pernah menganggapku lebih dari seorang adik yang tidak tahu diri, biarlah... Biarlah aku luruh ke bumi seperti sehelai daun... daun yang tak pernah membenci angin meski harus terenggutkan dari tangkai pohonnya.

Sinopsis

Daun yang jatuh tidak pernah membenci angin, berkisah tentang kenangan dan cinta yang dialami oleh seorang gadis cantik dan pintar bernama Tania. Seperti sebuah lego yang disusun satu persatu hingga menjadi utuh, kisah dalam novel yang di tulis oleh Tere Liye ini sanggup menghanyutkan hati pembaca pada setiap potongan ceritanya.

Tania, dan adiknya, Dede, adalah anak jalanan yang biasa mencari uang dengan mengamen. Suatu malam, saat berada didalam bus untuk mengamen, tanpa sadar kaki Tania berdarah karena menginjak paku. Kedua kakak beradik ini berjalan tanpa alas kaki, mereka tak mampu membeli uang untuk membeli alas kaki, katanya. Sontak hal ini membuat seorang pemuda—Danar, segera membantunya dengan membalut kaki Tania dengan sapu tangannya. Inilah awal pertemuan Tania dan Danar, Siapa sangka, Tania kecil bisa jatuh cinta pada pria dewasa yang bahkan berbeda empat belas tahun lebih tua darinya. Itulah sebabnya dia berusaha keras untuk menjadi wanita yang cantik dan cerdas agar bisa sepadan dengan Danar. Waktu berjalan cepat dengan kemajuan yang cepat pula. Tania tumbuh menjadi perempuan dewasa yang hebat. Dia bersekolah di Singapura tepat setelah Ibunya meninggal. Saat itu, Danar sudah seperti keluarganya sendiri.Tania tak pernah tahu bagaimana perasaan Danar terhadapnya. Di satu sisi Tania berpikir bahwa mungkin Danar hanya menganggapnya sebagai adiknya tapi di sisi lain Tania ingin Danar menjadi miliknya, menjadi suaminya. Tapi semua berubah saat Tania mendengar kabar bahwa Danar akan menikah dengan seorang perempuan bernama Ratna.

Daun yang jatuh tak pernah membenci angin. Itu yang pernah diucapkan Danar dulu. Tapi ungkapan itu pula lah yang membuatnya merasa sangat sedih ketika akhirnya dia memahami makna dari kalimat tersebut. Dia ingin mengakui perasaannya kepada malaikat penolongnya. Tapi disaat bersamaan, dia tak mau menghancurkan kehidupan orang baik itu. Dia hanya bisa mencoba berdamai dengan dirinya sendiri. Meskipun hal itu sedikit banyak merubah dirinya, merubah sifat dan tabiatnya. Mengubahnya menjadi Tania yang tidak menyenangkan

Review

Saya benar-benar jatuh cinta kepada novel ini. saya menyukai kepingan cinta yang terselip melalui jalinan tutur tokoh utama mengenai perjalanan hidup yang dilaluinya. Meskipun kisah cinta tersebut berakhir tragis.

Tere-liye berhasil membangun karakter Tania dengan kuat dan cerdas. Wataknya yang baik hati, penyayang, dan tulus menurutku menjadi prasyarat untuk menjadi tokoh favorit yang disenangi semua orang, sang Ibu yang begitu tegar telah mengajarkan Tania tentang nilai-nilai kehidupan dan arti kesabaran dalam perjuangan melalui masa-masa berat. Serta Dede, sang adik kecil yang suka menceletuk seenaknya, di saat-saat tertentu bisa diandalkan dan mampu menjadi sosok yang pengertian.

Bahasa yang disampaikan oleh Tere-Liye dalam novel ini cukup ringan dan mudah dimengerti oleh semua level pembaca. Alurnya juga bagus. Latar yang disampaikan jelas dan mampu membawa pembaca seperti benar-benar berada di tempatnya. Saya menikmati saat membaca novel ini.

Ada beberapa kutupan yang saya suka dari novel ini


  1. “Daun yang jatuh tak pernak membenci angin. Dia membiarkan dirinya jatuh begitu saja. Tak melawan. Mengikhlaskan semuanya.” 
  2. “Orang yang memendam perasaan seringkali terjebak oleh hatinya sendiri. Sibuk merangkai semua kejadian di sekitarnya untuk membenarkan hatinya berharap. Sibuk menghubungkan banyak hal agar hatinya senang menimbun mimpi. Sehingga suatu ketika dia tidak tahu lagi mana simpul yang nyata dan mana simpul yang dusta.”
  3. “Daun yang jatuh tak pernah membenci angin, dia membiarkan dirinya jatuh begitu saja. Tak melawan, mengikhlaskan semuanya.
  4. Bahwa hidup harus menerima, penerimaan yang indah. Bahwa hidup harus mengerti, pengertian yang benar. Bahwa hidup harus memahami, pemahaman yang tulus.
  5. Tak peduli lewat apa penerimaan, pengertian, pemahaman itu datang. Tak masalah meski lewat kejadian yang sedih dan menyakitkan. Biarkan dia jatuh sebagaimana mestinya. Biarkan angin merengkuhnya, membawa pergi entah kemana.” 
  6. “Orang yang memendam perasaan sering kali terjebak oleh hatinya sendiri. Sibuk merangkai semua kejadian disekitarnya untuk membenarkan hatinya berharap. Sibuk menghubungkan banyak hal agar hatinya senang menimbun mimpi. Sehingga suatu ketika dia tidak tahu lagi mana simpul yang nyata dan mana simpul yang dusta.” 
  7.  “Kebaikan itu memang tak selalu harus berbentuk sesuatu yang terlihat.” 
  8. “Orang yang memendam perasaan sering kli terjebak oleh hatinya sendiri. Sibuk merangkai semua kejadian disekitarnya untuk membenarkan hatinya berharap. Sibuk menghubungkan banyak hal agar hatinya senang menimbun mimpi. Sehingga suatu ketika dia tidak tahu lagi mana simpul yang nyata dan mana simpul yang dusta.” 
  9. “Sebenarnya penjelasan yang lebih baik adalah karena aku sering kali berubah pikiran. Semuanya menjadi absurd. Bukan ragu-ragu atau plintat-plintut, tetapi karena memang itulah tabiat burukku sekarang, berbagai paradoks itu. Bilang iya tetapi tidak. Bilang tidak, tetapi iya. Terkadang iya dan tidak sudah tidak jelas lagi perbedaannya.” 
  10. “…. Daun yang jatuh tak pernah membenci angin…. Dia membiarkan dirinya jatuh begitu saja. Tak melawan. Mengikhlaskan semuanya….” 
  11. “Kau membunuh setiap pucuk perasaan itu. Tumbuh satu langsung kau pangkas. Bersemi satu langsung kau injak? Menyeruak satu langsung kau cabut tanpa ampun? Kau tak pernah memberi kesempatan. Karena itu tak mungkin bagimu? Kau malu mengakuinya walau sedang sendiri..Kau lupa, aku tumbuh menjadi dewasa seperti yang kau harapkan. Dan tunas-tunas perasaanmu tak bisa kaupangkas lagi. Semakin kau tikam, dia tumbuh dua kali lipatnya. Semakin kau injak, helai daun barunya semakin banyak.” 
  12. “Cinta tak harus memiliki. Tak ada yang sempurna dalam kehidupan ini. Dia memang sangat sempurna. Tabiatnya, kebaikannya, semuanya. Tetapi dia tidak sempurna. Hanya cinta yang sempurna.” 
  13.  “The falling leaf doesn't hate the wind.” 
  14. “Tania, kehidupan harus berlanjut. Ketika kau kehilangan semangat, ingatlah kata-kataku dulu. Kehidupan ini seperti daun yang jatuh..Biarkanlah angin yang menerbangkannya.” 
  15. “Benci? Entahlah. Tak mungkin membenci tapi masih rajin bertanya. Atau memang ada benci jenis baru?” 

3 komentar:

  1. novel ini salah satu novel yang paling berbekas di hati sekaligus paling bikin galau. tapi aku merasa novel ini ga heart breaker juga karena banyak pelajaran tentang cinta yang bisa diambil.

    theladybooks.blogspot.com

    BalasHapus
  2. gile, judul nya oke banget nih. kece, "daun yang jatuh tak pernah membenci angin". :))

    BalasHapus