Kamis, 02 April 2015

[Review] Cerpen Pilihan Kompas 2013—Klub Soridaritas Suami Hilang

Hampir di setiap buku cerpen pilihan kompas kita akan menemukan nama seperti Budi Darma, Putu Wijaya, Agus Noor, SGA, Arswendo Atmowiloto.


Judul buku: Cerpen Pilihan Kompas 2013—Klub Soridaritas Suami Hilang
Penerbit: Buku Kompas
ISBN: 978-979-709-838-4
Tahun terbit: 2014
Rate: 4/5

Saya tidak terlalu suka edisi tahun ini, banyak cerpen yang surealis dan imajinatif tanpa ujung dan pangkal. Secara keseluruhan masih kalah apik dengan edisi tahun sebelumnya. Setengah lebih isi buku berasa sangat biasa, kemudian baru pada bagian akhir, beberapa novel penutup bagaikan sengaja disematkan di bagian akhir sebagai klimaks buku ini—padahal penempatan urutan cerpen sesuai dengan kapan cerpen itu dimuat di harian kompas minggu pada tahun 2013—terutama untuk Cerpen yang berjudul Eyang karya Putu Wijaya, menceritakan tentang orang tua kaya raya yang dititipkan kepada pegawai sang anak. Dalam keadaan serba kekurangan keluarga kecil itu menerima kedatangan Eyang dengan senang hati, memberikan kehidupan yang lebih ‘manusiawi’ sehingga Eyang betah tinggal bersama keluarga tersebut. Hingga akhirnya Eyang harus kembali kerumah sang anak, Eyang memberikan uang setengah milyar kepada keluarga in, namun uang tersebut di kembalikan karena “uang bukan segalanya”. Intinya cerpen ini kocak apalagi dibagian ending saat Eyang memutuskan kembali tinggal dengan keluarga tersebut sedangkan suami istri itu telah mengembalikan uang pemberian Eyang.

Cerpen lain yang memikat hati saya yaitu Utang-piutang Menjelang Ajal karya Jujur Pranoto. Sebenarnya cerpen Putu Wijaya dan Jujur Preanoto ini mempunyai ending yang ahmpir sama namun jalan cerita berbeda. Cerpen Utang-piutang Menjelang Ajal bercerita tentang seorang keponakan yang mempunyai piutang kepada oom-nya, utang tersebut harus dibayar sebelum oom-nya meninggal. Secara keseluruhan cerpen ini menceritakan tentang bagaimana cara sang sepupu melunasi utang kepada oom-nya, bagian paling kocak ketika sang sepupu telah melunasi hutangnya dengan cara menjual rumah dan tanahnya tapi kenyataan di endingnya

“Om ingin menganggap lunas semua hutangmu… dengan nama Allah Om bersumpah… tak ada lagi… hutang-piutang diantara kita… Lailaha ilalaah….”
Terdengar suara alarm panjangpertanda terhentinya detak jantung. Dokter dan para perawat berdatangan. Mereka sempat bingung, mana yang harus mereka tanganilebih dulu. Almarhum Om Sur, atau Chaerul,yang tergolek lemah di lantai dengan mulut yang berubah bentuk.—hal 87

Saya juga menyukai cerpen Malam Hujan Bulan Desember karya Guntur Alam. Cerpen ini mengunakan sudut pandang ruh balita yang melihat ayahnya membunuh ibunya dan setelah itu ayahnya membunuhnya. Sejak pertama kali saya membaca cerpen tersebut diharian kompas, saya sudah terpikat dengan cara Guntur bercerita dan diksi yang digunakan—terlepas dari ide cerita yang pasaran.

 Cerpen yang dijadikan judul utama buku ini ternyata tidak sekeren yang saya bayangkan. Entahlah, saya awam secara teknis yang digunakan.

Tidak semua cerpen dalam buku ini berkesan bagi saya. Tetapi dari keragaman tema dan pesan yang disampaikan dalam cerpen penulis-penulis hebat ini benar-benar memperkaya pemahaman kita akan media cerita pendek.

2 komentar: