Jumat, 13 Maret 2015

[Review] Amba - Laksmi Pamuntjak


Judul Buku: Amba
Penulis: Laksmi Pamuntjak
Tebal: 496 halaman
Penerbit: GPU
Rate: 4/5
Blurp: Tahun 2006: Amba pergi ke Pulau Buru. Ia mencari seorang yang dikasihinya, yang memberinya seorang anak di luar nikah. Laki-laki itu Bhisma, dokter lulusan Leipzig, Jerman Timur, yang hilang karena ditangkap pemerintah Orde Baru dan dibuang ke Pulau Buru. Ketika kamp tahanan politik itu dibubarkan dan para tapol dipulangkan, Bhisma tetap tak kembali. Novel berlatar sejarah ini mengisahkan cinta dan hidup Amba, anak seorang guru di sebuah kota kecil Jawa Tengah. "Aku dibesarkan di Kadipura. Aku tumbuh dalam keluarga pembaca kitab-kitab tua." Tapi ia meninggalkan kotanya. Di Kediri ia bertemu Bhisma. Percintaan mereka terputus dengan tiba-tiba di sekitar Peristiwa G30S di Yogyakarta. Dalam sebuah serbuan, Bhisma hilang selama-lamanya. Baru di Pulau Buru, Amba tahu kenapa Bhisma tak kembali. Dan mati.


"Cinta kita sendiri sudah begitu besar, begitu luar biasa. Kebanyakan orang tak pernah mengalaminya. Apabila cinta yang begitu besar itu termasuk memiliki objek yang kaucintai, itu namanya ketidakadilan. Sungguh tak adil, untuk mencintai dan dicintai sedemikian rupa, dan melakukannya di atas penderitaan orang lain. Akhirnya, kamu benar: hidup kita telah ditulis di langit. Dan kita tak kuasa menentangnya." (hlm.459)

Review

Amba adalah anak perempuan dari seorang guru di Kadipura, Amba digambarkan sosok perempuan yang ceerdas, memiliki pandangan hidup, sedikit egois, mandiri dan juga cantik. Ayahnya pembaca serat Centhini, Wedhatama dan beberapa puisi jawa lainnya. Ia mempunyai adik bernama Ambika dan Ambalika.

Di usia yang ke-18 Amba belum ingin menikah karena ia ingin menuntut ilmu yang lebih tinggi. Amba ditunangkan dengan Salwa, seorang dosen di UGM. Hubungan mereka baik-baik saya walaupun Amba tidak merasakan getar-getar cinta. Namun hubungan mereka harus dipisahkan oleh jarak karena Salwa ditugaskan di Surabaya. Amba mulai menyibukkan diri dengan melamar menjadi penerjemah untuk sebuah rumah sakit di Kediri. Di rumah sakit itu Amba bertemu dengan Bhisma, seorang dokter lulusan Jerman. Dan pertemuan Amba dan Bhisma menjadi titik dimana semua konflik muncul.

Ini novel pertama karangan Laksmi Pamuntjak yang saya baca. Novel ini bercerita tentang sejarah kelam yang dialami bangsa Indonesia beberapa puluh tahun silam. Tentang peristiwa 1965, tentang kehidupan tahanan politik komunis yang dibuang di Buru. Juga sedikit menyingung kerusuhan tahun 98 di Ambon, Obed, Acang

Novel ini dibuka dengan kalimat puitis.

“Di Pulau Buru, laut seperti ibu: dalam dan menunggu. Embun menyebar seperti kaca yang buyar, dan siang menerang lading yang diam. Kemudian malam akan mengungkapkan apa yang hilang oleh silau.
Tapi, sesekali, sesuatu bisa terjadi di pulau ini˗˗sesuatu yang begitu khas dan sulit diabaikan˗˗dan orang hanya bisa membicarakannya sambil berbisik, seperti angin diatas batu yang terus menerus membalun dan menghilang melalui makam orang-orang tak dikenal. Dan di jajaran lembah di baliknya, seolah melalui puisi dan tenung, ada cerita yang diam-diam menjelma.
Seperti kisah Amba dan Bhisma ini.” (hlm. 15)

Plot yang digunakan menggunakan metode kilas balik. Diawali dengan kejadian di Buru yang dialami Amba di tahun 2006, lalu mundur ke masa remaja dan sekolah. Lalu kembali lagi ke Buru. Penulis berhasil menyusun plot dengan apik dan rapi. Saya menyukai bagaimana Penulis bercerita tentang tentetan peristiwa yang dialami para tokoh di tahun 1965. Emosi yang di tuangkan penulis sangat tertata rapi dan terasa oleh pembaca.

Ada bagian yang sedikit membingungkan. Saya tidak mengerti mengapa Samuel dengan setianya mendampingi Amba, mencari-cari Amba saat Amba melarikan diri. Saya mencari-cari alasan logis tindakan Samuel, namun hingga saya membaca sampai akhir saya tidak menemukannya. Tidak mungkin ‘kan jika Samuel pria muda dengan mudahnya tertarik dengan perempuan tua yang baru ditemuinya beberapa hari dalam perjalanan ke Buru?

Saya sangat menikmati Amba, kekuatan karekter Amba yang di gambarkan oleh laksmi sangat menginspirasi. Saya merekomendasikan buku ini bagi pemuda Indonesia yang kurang mencintai bangsanya sendiri, sehingga kurang tahu apa saja peristiwa besar yang pernah terjadi di Indonesia.

Ada beberapa kutipan yang saya sukai
  1.  “Selalu ada yang membuat terlena dan tak berdaya pada hujan, pada rintik dan aromanya, pada bunyi dan melankolinya, pada caranya yang pelan sekaligus brutal dalam memetik kenangan yang tak diinginkan” 
  2.  “Laut seperti ibu. Dalam dan menunggu.” 
  3.  “Aneh, memang: selalu ada yang membuat terlena dan tak berdaya pada hujan, pada rintik dan aromanya, pada bunyi dan melankolinya, pada caranya yang pelan sekaligus brutal dalam memetik kenangan yang tak diinginkan.” 
  4. “Ketika bicara menunggu, itu bukan tentang berapa jam, hari dan bulan.
  5. Kita bicara tentang titik di mana kita akhirnya memutuskan untuk percaya” 
  6. “Dalam hidup ada saat-saat ketika masa depan dengan cepat diucapkan, justru karena yang sepenuhnya berkuasa adalah masa kini” 
  7. “Kesetiaan selalu dikhianati, atau ia menanti selamanya untuk sesuatu yang tak pernah dimikili” 
  8. “Apakah yang dikatakan oleh kesedihan kepada matamu, yang membatalkan semua yang indah dari kehidupan?” 
  9. “Perempuan jangan selalu merasa dirinya harus mengorbankan dirinya kepada laki-laki dengan gampang” 
  10. “Perjalanan: melatih diri untuk tetap menjaga jarak seraya berbagi begitu banyak.” 
  11. “Nggak ada yang lebih menyedihkan di dunia ini, daripada permintaan maaf yang nggak pada tempatnya.” 
  12. “Seorang lelaki harus dibikin jatuh cinta selamanya pada seorang perempuan agar ia tak pergi” 
  13. “Mendidik diri untuk menjaga jarak dengan orang lain, dan juga untuk menjaga jarak dengan kata-kata yang sewaktu-waktu bisa berkhianat.” 
  14. “Perjalanan membawa hal - hal baru yang membuat kita bijaksana, tapi selalu ada yang tetap pada kita sejak sebelum berangkat” 
  15. “Kesetiaan selalu dikhianati, atau ia menanti selamanya untuk sesuatu yang tak pernah dimiliki” 
  16. “Ketika bicara menunggu, itu bukan tentang berapa jam, hari, dan bulan. Kita bicara tentang titik di mana kita akhirnya memutuskan untuk percaya.” 
  17. “Belajar untuk tidak mengumbar kata, karena begitu sesuatu diikrarkan, kita terikat, dan tak bisa menariknya kembali.”

Postingan ini Diikutkan dalam #ReviewMaret @momo_DM @danissyamra @ridoarbain di https://bianglalakata.wordpress.com/2015/03/03/reviewmaret-ayo-me-review-buku-fiksi/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar