Minggu, 22 Maret 2015

[Review] Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas - Eka Kurniawan

Judul: Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas

Penulis: Eka Kurniawan
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: Mei 2014
Tebal Buku: 245 halaman
Rate: 5/5

Blurp: Di puncak rezim yang penuh kekerasan, kisah ini bermula dari satu peristiwa: dua orang polisi memerkosa seorang perempuan gila, dan dua bocah melihatnya melalui lubang di jendela. Dan seekor burung memutuskan untuk tidur panjang. Di tengah kehidupan yang keras dan brutal, si burung tidur merupakan alegori tentang kehidupan yang tenang dan damai, meskipun semua orang berusaha membangunkannya.

Review

Buku ini bercerita tentang burung yang hibernasi sejak melihat “sesuatu” di antara kedua paha seorang wanita. Tragedi itu menimpa seorang bocah bernama Ajo Kawir. Peristiwa nahas itu terjadi saat ia dan sahabatnya, Si Tokek, sedang mengintip Rona Merah—perempuan gila yang diperkosa oleh dua orang polisi. Karena ketidakhati-hatiannya, Ajo Kawir akhirnya ketahuan mengintip oleh dua orang polisi itu. Sebagai hukumannya, Ajo Kawir dipaksa melihat dengan dekat tragedy itu dan melakukan hal yang sama yg dilakukan kedua polisi terhadap rona merah. Sejak saat itu si burung memutuskan untuk hibernasi.

"Tak ada yang lebih menghinakan pelacur kecuali burung yang tak bisa berdiri." hlm. 40

Sepanjang hidupnya si Tokek merasa bersalah, karena ia yang mengajak Ajo Kawir mengintip Rona Merah. Karena hal ini si Tokok berjanji kepada dirinya sendiri untuk memakai burungnya jika suatu hari nanti burung Ajo Kawir sudah bangun.

Ajo Kawir tumbuh menjadii pemuda yang senang berkelahi. Ia mengarungi jeramnya dunia kekerasan. Ada hal unik dari diri Ajo Kawir. Meski Ia terlihat kuat dan pencari keributan, ada suatu masa dimana Ia menangis, entah karena burungnya yang tak pernah bangun atau karena si Iteung, cinta pertamanya.Hingga suatu hari datanglah Paman Gembul—anggap saja ia bos mafia, mendatangi Ajo Kawir meminta bantuan agar ajo Kawir membunuh Si Macan.

Cobaan yang lebih berat menimpa Ajo Kawir. Iteung hamil. Arjo Kawir kembali mengumpat, menyalahkan burungnya yang hibernasi, sehingga istrinya mencari jalan ke pria lain. Ronde kedua kehidupan Arjo Kawir dimulai. Ia kembali meninggalkan rumah, mencari-cari Si Macan lalu membunuhnya. Hal ini membuatnya masuk penjara. Di penjara ia mengalami siksaan yang luar biasa pedih dari sipir. Namun di penjara inilah Ajo Kawir menemukan jati dirinya. Setelah keluar dari penjara  ia memutuskan menjadi seorang supir truk yang bolak-balik ke pedalaman Sumatra – Jawa.

"Tidur di kendaraan merupakan pujian paling tulus untuk seorangsopir." Hal. 136

Ini adalah buku pertama karangan Eka Kurniawan yang saya baca. Dan mungkin setelah membaca buku ini saya akan menjadi fans Eka Kurniawan.

Buku bercerita ini tentang mencari jati diri di tengah hiruk pikuk lingkungan yang keras. Dan bagaimana untuk tetap mempertahankan diri diantara segala hal yang harus dilawan dengan kesungguhan hati.

Teknik berceritanya meledak-ledak. Maju-mundur, mengejutkan. Ada cerita dalam cerita. Namun keseluruhan dari cerita adalah usaha Ajo Kawir membangunkan burungnya.

Buku ini ditulis dengan bahasa yang sangat vulgar. Adegan pemerkosaan, bersetubuh, pembunuhan ditulis dengan lugas, jelas dan tanpa sensor. Jarang sekali ada penulis yang menulis dengan gaya bahasa vulgar. Namun Eka berhasil menyampaikan makna di balik kevulgaran kepada pembaca dengan apik.

Inti dari buku ini bercerita tentang penguasa yang melakukan segala hal yang ia mau, ketidakadilan untuk rakyat kecil dan lemah, kekerasan yang terjadi disekitar serta kebebasan yang terhalang. Saya tidak pernah berfikir jika kelamin manusia bisa memiliki filosofi yang luar biasa—sungguh saya bingung menjelaskannya.

                Salah satu adegan favorit saya yaitu saat truk Mono Ompong “bertarung” di jalan raya dengan truk Si Kumbang. Membaca bagian ini terasa sangat nyata, seolah pembaca ada di dalam pertarungan tersebut.

                Ada satu percakapan Antara Ajo Kawir dan Mono ompong yang sangat saya sukai.

Ajo Kawir: Burungku bilang aku tak boleh berkelahi
Mono Ompong: Kenapa kau selalu bertanya kepada burungmu untuk segala hal?
Ajo Kawir: Kehidupan manusia ini hanyalah impian kemaluan kita. Manusia hanya menjalaninya saja.

“Kemaluan bisa menggerakkan orang dengan biadab. Kemaluan merupakan otak kedua manusia, seringkali lebih banyak mengatur kita daripada yang bisa dilakukan kepala. Itu yang kupelajari dari milikku selama bertahun-tahun ini.” hal. 126

Tidak ada komentar:

Posting Komentar